oleh : Tirta Anhari
-Tulisan Tertulis -
-Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang-
Mahasiswa dalam prinsipnya memiliki “ruang bebas” yang lebih dalam pergerakan, baik dikampus maupun diluar kampus. Oleh karena itu dalam konsep yang ideal mahasiswa harus memiliki peran aktif dalam menghadapi persoalan disekitar. Kondisi dilapangan yang menjadi social control lagi-lagi adalah mahasiswa. Mahasiswa yang disebut-sebut sebagai agen perubahan agent of change haruslah berpegang teguh dan memiliki prinsip serta pemikiran yang tercerahkan dan tidak terkontaminasi oleh pihak manapun. Mandiri, kritis, peduli dan kreatif. yang harus mampu mempunyai niat yang tulus dan murni sebagai “penyambung lidah rakyat” kata Cindy Adams dalam bukunya yang berjudul tersebut tentang soekarno.
Melihat kondisi saat ini, mahasiswa lupa akan tugas beratnya sebagai penuntut ilmu dan penyebar ilmu, meneliti dan inovasi serta mengabdi kepada masyarakat (tri dharma perguruan tinggi). Sekarang kenyataannya bagaimana? Apakah semua mahasiswa dikampus-kampus sudah menyadari hal itu? Terlihat dari sekian ribu mahasiswa dikampus yang pernah saya teliti, hanya sekitar 5% saja yang peduli terhadap keadaan yang terjadi di lapangan. Ex. Bencana, kebijakan pemerintahan dsb, yang seharusnya mahasiswa aktif mengiringi dan mengontrol secara aktif dan berkesinambungan dengan mengadakan diskusi interaktif dalam tatanan mahasiswa dengan mengedepankan nilai keterbukaan dan pencarian solusi, bukan debat “kusir” yang tidak ada ujung persoalannya.
Kita perlu adanya “pengingatan” dan “peringatan” kembali kepada mahasiswa tentang “zona aman” ini, jikalau sudah merasa nyaman dan tidak merasa galau dalam setiap detik per-kehidupan mahasiswa, itu bukan mahasiswa namanya, ujar pembicara seminar kebangsaaan yang pernah saya ikuti beberapa bulan silam. Jikalau mahasiswa sadar dan mampu menempatkan segala aspek peranannya yang sesuai serta tidak ada ego dan ambisi untuk selain menjaga kemurnian peran mahasiswa maka mahasiswa tidak akan lagi di cap sebagai “tukang demo”, “tawuran” bahkan “kaum intelek yang bukan intelek” sehingga, akan membuat masyarakat dan rakyat tentunya merindukan dan menjadikan mahasiswa benar-benar agen perubahan.
Agen perubahan yang murni berangkat dari suara rakyat dan keadilan untuk bisa membuat suasana yang kondusif dan adil serta sejahtera. Apalagi diskusi-diskusi yang menjadi cikal bakal konsep perubahan di kampus-kampus sudah mulai menghilang, budaya membaca mahasiswa yang semakin menurun akibat berbagai macam “masukan” dari dunia globalisasi. Berbagi pengalaman saja, saya pernah teringat dan termotivasi dengan kata-kata ini “kalaulah hidup hanya sekedar hidup, babi hutanpun hidup, kalau bekerja sekedar bekerja, kerapun bekerja” kata Buya Hamka yang selalu ter-iang dipikiran. Bukan berarti segala macam bentuk alat dan peralatan teknologi membuat kita lalai dan lemah dalam menuntut ilmu dan berkarya, saling share dan berdiskusi untuk membuat konsep dalam menyongsong perubahan. Kita butuh saling pengertian bukan saling “menyikut”, kita butuh saling berbagi bukan “kritik tanpa solusi”, kita butuh berpegangan tangan dan peduli, bukan acuh dan diam dan berada pada “zona aman”.
Perubahan kearah yang lebih baik menjadi harapan kita bersama, perubahan yang hakiki sebenarnya adalah bagaimana kita dapat merevolusi diri, membuat diri kita tak lagi berkutat kepada hal-hal yang tidak berguna dan mampu mempertanggung jawabkan diri dihadapan Allah SWT di akhirat kelak,sehingga setiap diri yang sadar akan mampu membawa suatu kelompok, suatu wilayah dan suatu bangsa menjadi tempat yang sesuai dengan harapan kita sesuai dengan sila terakhir dalam falsafah Negara kita “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang benar-benar BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA.
#mencoba menulis,semoga menjadi bahan berbagi dan saling kritik dan saling saran
-terimakasih