Sekolah Rolling Door (Ketulusan adalah Kepahlawana)
Oleh :
Tirta Anhari
Saya mulai dengan menyebut nama
Allah yang maha pengasih dan maha penyayang, zat suci yang menciptakan alam
semesta dan seisinya, zat yang menciptakan cinta, zat yang menciptakan
ketulusan, zat yang menciptakan mimpi dan harapan besar yang baik, zat yang menjaga
kita ketika kita tertidur, zat yang menciptakan Adam dan keturunannya, zat yang
menciptakan langit dan pelangi yang indah, zat yang menciptakan kasih sayang,
zat yang menciptakan manusia, zat yang menciptakan cahaya, zat yang menciptakan
harapan dan kekhawatiran, zat yang menciptakan udara untuk kita bernafas, zat
yang Maha Pahlawan, zat yang menciptakan segalanya…
Terbesit dalam pikiran, pernah
berkunjung ke sebuah desa terpencil diatas gunung, yang tak jauh dari ibukota.
Terletak kurang lebih 70 km dari Jakarta yang secara geografis tidak jauh dari
pusat peradaban Ibukota. Namanya kampung Gunung Batu III Desa Sukaharja
Kecamatan Sukamakmur Kab. Bogor. Daerah ini memiliki banyak keragaman budaya,
pandangan hidup, sosial ekonomi dsb, yang noteband
adalah petani dan pekerja kasar. Setiap penduduknya mempunyai kemandirian
dan daya juang yang tinggi, tidak seperti di “kota” yang ketergantungan,
individualis bahkan kapitalis. Skip dari
hal-hal yang menyudutkan salah satu pihak, kembali kepada topik awal bahwa di
lokasi tersebut keindahan alam bumi Indonesia membuat kita sadar betapa
indahnya alam ini yang dilukiskan sang Maha Pencipta. Semua lukisanNya membuat
kita berfikir dan tenang, hal-hal yang menyejukkan hati dan melepas “dahaga”
membuat udara yang masuk dalam paru-paru membersihkan seluruh oksigen dalam
tubuh dari “jahat”nya udara ibukota. Kunjungan beberapa hari ini, dalam rangka
program kerja organisasi di kampus yang termaksud bakti sosial dengan fokus
pada pendidikan dan pengenalan teknologi. Memang payahnya saya, ya saya adalah
tidak inisiatif mencari lokasi yang “luar biasa” sendiri, tetapi harus ada
program dikampus. Tapi saya merasa beruntung “dipaksa” mencari lokasi tersebut.
Alhamdulillah niat baik ini
terealisasikan karena banyak dorongan dan dukungan serta terbentuknya niat dari
hati yang tulus. Kembali ke topic awal, hal yang menjadi prioritas utama dalam
diri adalah bagaimana mencari medan yang terbaik dalam program kali ini.
Kondisi awalnya dari tampak luar
tampak lazim biasanya, ternyata semuanya berbeda dengan hipotesa awal. Bangunan
yang terlihat tua, pemandangan alam sekitar yang sepi dan sejuk memperlihatkan
kondisi tempat yang tenang, sangat kondusif dalam belajar mengajar. Dinding-dinding
sekolah dan langit-langitnya yang sudah agak lapuk, atap-atap yang bocor dan
panas jika terkena terik mentari, menggambarkan bangunan yang “terawat oleh
alam”. Bergegas saya harus mencari rumah orang yang berada di balik semua ini.
Namanya pak’ Arif orang biasanya menyebut pak ’e atau pak’guru di sekitar
lokasi gunung batu. disebut pak’guru karena hanya dia dan segelintir orang yang
lulusan sarjana dan orang yang pemerhati terhadap pendidikan. Awalnya beliau
adalah seorang insinyur pertanian dari Jawa Timur yang di “lempar” pemerintah
untuk menjadi kepala pertanian disana yang mengurus kurang lebih 20 hektar
tanah. Setelah sekitar 5 tahun dari tahun 2001 dia melihat kondisi pendidikan
dan budaya disekitar yang jauh sekali perbandingannya di ibukota yang noteband nya tidak jauh. Dari ratusan
kepala keluarga hanya beberapa orang yang lulus SMP, sebagian besar lulus SD
langsung kerja atau bahkan menikah!. Hal ini membuat saya terus mencari
informasi karena penasaran saya akhirnya saya mewawancari pak’guru dari negeri
sebrang (sebutan saya) sampai larut malam.
Saya lanjutkan cerita bahwa disana
ternyata pandangan penduduk tentang pendidikan masih rendah, banyak orang tua
yang berpandangan “untuk apa sekolah?”, “mau jadi apa setelah sekolah
tinggi-tinggi?”,”mendingan kerja aja dan langsung nikah!?!”. Langsung saja pada
intinnya bahwa maksimal pendidikan mereka adalah SD/MI untuk bisa dapat ijazah
SD dan dapat membaca dan menulis, setelah SD sudah cukup. Bahkan, yang sampai
SD saja hanya sedikit. Hal ini membuat saya dan teman-teman seperjuangan
dikampus terkejut dan merasa perlu adanya perubahan. Saya tidak menyangka
lokasi yang tidak jauh dari ibukota yang mewah dan megapolitan dan Negara yang
kaya, tetapi masih ada lokasi di negaranya sendiri jauh dari pendidikan. UUD’45
dalam alineanya ada kata-kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” bahkan dalam
pasal 31 ayat 1-5 ada tulisan “pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara”
wah! Bagaimana ini?!?!?. Apakah semua konsep tersebut hanyalah sebuah definisi?
Apakah hanya sebuah retorika? Apakah hanya sebuah angan-angan?. Pendidikan yang
tidak merata serta perhatian pemerintah yang kurang disana memperlihatkan perlu
adanya evaluasi dari semua pihak, namun semuanya berawal dari sebuah ketulusan
dan tanggung jawab.
Pak’ guru yang sudah dari tahun 2001
tinggal disana merasa “gerah” dengan kondisi tersebut. pada akhirnya tahun 2005
ia bersama istri dan rekan-rekan yang mempunyai pemikiran sama mencari lahan
yang kosong untuk dijadikan sekolah. Bertemu dengan seorang ibu dari Jakarta
yang mempunyai kios atau ruko ukuran kurang lebih 7mx6m yang sudah tak terawat,
dengan negosiasi akhirnya kios tersebut diizinkan untuk dijadikan sekolah
dengan izin omongan dan status aslinya adalah “pinjaman”. Dengan tekad
ketulusan yang kuat, mereka berhasil menjadikan
“sekolah” tersebut kelas jauh dari sekolah yang ada dikecamatannya.
Sekolah kelas jauh tersebut adalah MTs Annur yang berarti artinya cahaya.
Semoga ini menjadi cahaya bagi penduduk sekitar, ujar pak’guru. hari-hari
pertama sekolah mulai berjalan penduduk-penduduk yang pemikirannya masih
terjebak dan ter-degradasi membuat selentingan atau julukan yang membuat panas
telinga kepada sekolah tersebut seperti, “sekolah toko”, “sekolah pasar”
“sekolah ruko” yang memang pintu kelasnya adalah rolling door dan lagi-lagi
saya hampir menetekan air mata. Siswa-sisiwi yang belajar disana tidak membayar
sepersen pun dan orang tua yang menyekolahkan anaknya pun tidak mau membayar.
Pak’guru dan rekan-rekannya pun harus meyakinkan orang tua terlebih dahulu
untuk menyekolahkan anaknya dengan jaminan tidak membayar sampai lulus. Bahkan
ketika saya kerumah pak’guru ada siswa yang menangis karena disuruh bapaknya
bekerja dibanding harus sekolah dengan pilihan “sekolah tidak naik motor atau
kerja tapi dikasih motor!?!”. Memang pilihan yang cukup sulit apalagi sambil
dimarahi. Heeuuh… saya merasa iba dan
ingin sekali menemui orang tuanya, tapi apa daya tak ada yang bisa saya lakukan
selain mengelus kepala. Seiring berjalan
waktu, akhirnya sampai saat ini sekolah tersebut meluluskan 2 angkatan dengan
nilai terbaik dan mengalahkan sekolah yang ada dipusat! subhanallah
dan merasa terharu mendengarnya. Hingga akhirnya seorang ibu-ibu baik dari
Jakarta tersebut mengizinkan pembangunan 2 lokal lagi untuk kelas 1, 2 nya dan
bahkan pak’guru bersama istri dan rekannya mendirikan PAUD, MI dan MA sekaligus
dengan bermodalkan ketulusan dan tekad walau berstatus “kelas jauh” dan tanah
yang berstatus “pinjam”. Dengan kondisi sarana se-adanya dan tenaga pengajar
yang tidak di gaji sepersen pun bermodalkan niat dan ketulusan yang kuat
membuat kami iri dan heran, membuat kami bertanya apakah semangat mereka dan
ketulusan mereka mampu kita lakukan?
Dengan celotehan yang tidak enak
didengar dan pandangan penduduk yang kurang mendukung dan seiring berjalan
waktu, akhirnya mindset penduduk
berubah dengan beberapa murid yang bersekolah disana menjadi sarjana dan
kembali mengabdi di desa tersebut. Hal ini membuat pengajar yang hanya terdiri
4 orang untuk semua jenjang pendidikan merasa semakin kuat, hingga pada tahun
2013 ini sekolah mulai ramai dengan bannyaknya orangtua yang menyekolahkan
anaknya tersebut secara gratis. Saya kembali kekondisi penduduk yang taat
dengan agama dan mayoritas muslim namun berbeda pandangan soal pendidikan.
Mereka melihat pendidikan terpisah dengan agama, alias sekolah formal tidak
akan bisa menjadikan ustad atau kyiai, padahal sekolah merupakan bagian dari
Islam dan ajarannya. Hadits Nabi tentang “menuntut ilmu adalah kewajiban dari
buaian hingga liang lahat” merupakan salah satu landasannya, bahkan masih
banyak lagi. Sekolah formal dan sistem pendidikan di Negara adalah bagian dari
mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mencapai sebuah tujuan yang universal bagi
semua manusia dan alam seisinya untuk mencapai suatu kebahagiaan bersama. Sekolah
formal atau kita sebut saja pendidikan adalah merupakan suatu cara untuk
meningkatkan kecerdasan manusia, meningkatkan status sosial masyarakat, hak
bagi setiap warga Negara, suatu hal yang bersifat wajib dan menjadi cara untuk
menjadikan manusia seutuhnya yang berbudaya, mempunyai pribadi yang ber-akhlaq,
jujur, disiplin, mandiri, berjiwa besar sehingga mampu menciptakan kehidupan
yang damai dan saling bergotong-royong. Belajar (sekolah) bertujuan membuat
manusia menjadi manusia yang baik dimata masyarakat, dimata Sang Pencipta agar
memahami kebesaran-Nya sehingga akal mampu meresapi dan mensyukuri nikmat-Nya.
Ya, singkatnya dengan cara menjadikan akal berfungsi secara normal. Akal akan
berfungsi secara normal dengan pendidikan baik agama atau pendidikan yang
formal ilmu sains. Tak lain tak bukan bertujuan agar manusia mendapatkan hidup
yang layak dan menjadikan manusia mengerti tujuan hidup.
Saya kembali ceritakan seorang
pribadi luar biasa disana berjuluk Pak’guru yang ber-insinyur pertanian bahkan
tidak mampu meninggalkan gunung batu ketika ditawarkan bekerja di perusahaan
asing diluar negeri karena kerinduan dan ketulusan untuk menguji diri dan
menempa diri untuk mencapai kata ketulusan. Hal ini membuat saya kembali
terharu dan merasa payah. Ya saya ulangi PAYAH. Pak’guru yang sudah terlihat
kurus dan semua rekan guru terkesan menghabiskan waktu hidupnya untuk mengabdi
pada daerah tempat tinggalnya dengan sebuah ketulusan dan peng-hambaan kepada
Sang Pencipta Allah SWT. Hal ini membuat saya kembali “mengaca diri” !!! kita
yang berada di ibukota, atau dimanapun yang mempunyai akses lebih, kemudahan
dalam mendapatkan sesuatu, kemudahan dalam mendapatkan fasilitas hidup tidak
mampu mencapai sebuah ketulusan seperti itu. Saya beranggapan bahwa ternyata
ketidaksesuaian yang terjadi karena kita!, bukan karena dia, atau mereka. Saya
mengajak kepada pembaca yang baik untuk tidak memposisikan diri menjadi orang
yang paling benar. Saya mengajak kepada pembaca untuk memposisikan diri sebagai
orang yang baik, dan ternyata sayapun juga sulit memposisikannya!
Kisah nyata ini ternyata begitu
banyak terjadi disekitar kita. Namun, bagaimana kita mendapat dan mengambil
hikmah dari semua ini. Sebuah pengorbanan tidak akan bisa disebut berkorban
jika tidak dimulai dari sebuah ketulusan. Dan sebuah ketulusan tidak akan
disebut ketulusan jika tidak dimulai dari sebuah keikhlasan. Seorang tokoh dan
lokasi yang saya ceritakan dari awal, merupakan sebuah “pukulan besar” bagi
kita bahwa kita masih menyia-nyiakan waktu, lupa untuk berbagi, membuang
kesempatan, tidak bersyukur atas apa yang diberikan dan kita peroleh. Semua hal
yang terjadi dalam hidup kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan.
Masihkah kita serakah? masihkah kita emosi? Masihkah kita bertengkar? Masihkah
kita terjebak dengan sesuatu yang tidak penting?. Pertanyaan ini adalah suatu
hal yang harus kita jawab bersama. Saya optimis, jika kita berpegangan tangan
dan mau bersama berubah untuk menjadi yang lebih baik dan mulai dari hal yang
kecil dari diri sendiri, maka tidaklah tidak mungkin semua mimpi dan harapan
kita bersama akan terwujud. Mari bersama saling berbagi, saling nasehat
menasehati untuk kebaikan. Kisah cerita nyata ini adalah sebuah aksi nyata dari
ketulusan, manifestasi sebuah tulus dan kejernihan hati yang menciptakan sebuah
KEPAHLAWANAN.
wahai zat yang Maha pengasih jadikan kami orang yang pengasih yang sabar dan baik, tulus lagi ikhlas...